Drama Komedi Satu Babak
ORANG
KASAR
Karya ANTON CHEKOV
Saduran WS RENDRA
PELAKU:
NYONYA MARTOPO : Janda muda, gundik seorang pemilik tanah
BAITUL BILAL : Seorang pemilik perkebunan
MANDOR DARMO : Yangan Kanan Nyonya Martopo
TIGA ORANG PEKERJA
Kejadian : Masa kini
Tempat kejadian :
DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN
KOPI DI JAWA TIMUR. SUATU DAERAH YANG BERALAM INDAH, SEGAR DAN KAYA. DI SINILAH
PEMILIK-PEMILIK PERKEBUNAN MEMPUNYAI RUMAH-RUMAH YANG BESAR, BAGUS DAN MEWAH.
MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN
WAKTU SENGGANG SUKA BERBURU TUPAI ATAU BURUNG. MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA
DENGAN KERETA DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.
KETIKA
LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR TAMU DI RUMAH TUAN MARTOPO YANG MEWAH ITU.
PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI DINDING TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI
KAPAS, TERPAKU DENGAN LUCU. JUGA TERDAPAT TANDUK-TANDUK RUSA, BURUNG-BURUNG
BERISI KAPAS DIJADIKAN HIASAN DISANA-SINI. SEDANG DI LANTAI BEREBAHLAH SEEKOR
HARIMAU YANG DAHSYAT YANG TENTU SAJA JUGA BERISI KAPAS.
BERMACAM
GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN ANGIN TERSIMPAN DI SEBUAH LEMARI KACA YANG BESAR.
PADA
SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI KAMAR TAMU YANG MEWAH ITU, NYONYA
MURTOPO, SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA SAMBIL MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN
KE GAMBAR ALMARHUM SUAMINYA YANG GAGAH, BERMATA BESAR DAN BERKUMIS TEBAL ITU.
MAKA MASUKLAH MANDOR DARMO YANG TUA ITU.
DARMO
Lagi-lagi
saya jumpai nyonya dalam keadaan seperti ini. Hal ini tidak bisa dibenarkan,
nyonya Martopo. Nyonya menyiksa diri! Koki dan babu bergurau di kebun sambil
memetik tomat, semua yang bernafas sedang menikmati hidup ini, bahkan kucing
kitapun tahu bagaimana berjenakanya dan berbahagia, berlari-lari kian kemari di
halaman, berguling-guling di rerumputan dan menangkapi kupu-kupu, tetapi nyonya
memenjarakan diri nyonya sendiri di dalam rumah seakan-akan seorang suster di
biara.
Ya,
sebenarnyalah bila dihitung secara tepat, nyonya tak pernah meninggalkan rumah
ini selama tidak kurang dari satu tahun.
NYONYA
Dan
saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi keluar? Riwayat saya sudah
tamat. Suamiku terbaring di kuburnya, dan sayapun telah mengubur diri saya
sendiri di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah sama-sama mati.
DARMO
Ini lagi ! Ini lagi
! Ngeri saya mendengarkannya, sungguh! Tuan Martopo telah mati, itu kehendak
Allah, dan Allah telah memberikannya kedamaian yang abadi. Itulah yang nyonya
ratapi dan sudah sepantasnya nyonya menyudahinya. Sekarang inilah waktunya
untuk berhenti dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus melelehkan air
mata dan memakai baju hitam yang muram itu! Istri sayapun telah meninggal dunia
beberapa tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan penuh saya
melelehkan air mata, sudah itu selesai sudah.
Haruskah
orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah lebih dari yang sepantasnya untuk
suami nyonya!
(ia
mengeluh) Nyonya telah melupakan semua tetangga nyonya. Nyonya tidak pergi
keluar dan tidak menjamu seorangpun juga. Kita hidup, maafkanlah, seperti
laba-laba, dan kita tak pernah menikmati cahaya matahari yang gemilang.
Pakaian-pakaian
pesta telah dikerikiti tikus, seakan-akan
tak ada lagi orang baik di dunia ini. Tetapi di daerah ini penuh dengan
orang-orang yang menyenangkan. Di desa ini Perfini mengadakan location,
wah, bintang-bintang filmnya kocak! Orang tak akan puas-puas melihat mereka.
Setiap malam minggu mereka mengadakan malam pertemuan, bintang-bintang yang
cantik pada bernyanyi dan Raden Ismail bermain pencak. Oh, nyonyaku, nyonyaku,
nyonya masih muda dan cantik. Ah, seandainya memberi kesempatan pada semangat
nyonya yang remaja itu… Kecantikan toh tak akan abadi. Jangan sia-siakan.
Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru mau keluar ke pesta, ya, sudah
terlambat!
NYONYA (Tegas)
Saya
minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah tahu, bahwa sejak
kematian mas Martopo, hidup ini tak ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira aku
ini hidup? Itu hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya harap
arwahnya yang telah pergi itu melihatbagaimana aku mencintainya. Saya tahu, ini
bukan rahasia pula bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam, dan
ia tidak setia, tetapi saya akan setia, kepada bangkainya dan membuktikan
kepadanya betapa saya bisa mencinta. Di sana, di akhirat ia akan menyaksikan
bahwa saya masih tetap sebagai dulu.
DARMO
Apakah
faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut nyonya berjalan di kebun atau
memerintahkan orang memasang kuda kesayangan kita si Tobby dan si Hero di depan
kereta, dan kemudian pergi pesiar ataupun mengunjungi para tetangga?
NYONYA (menangis)
DARMO (setelah keheranan sejenak)
Nyonyaku,
nyonyaku, ada apa? Nyonya Martopo, demi Tuhan ada apa?
NYONYA
Suami
sangat mencintai kuda itu, si Tobby itu. Ia selalu tahu mengendarainya apabila
meninjau kebun-kebun. Bahkan ia pernah pula membawanya mendaki gunung Bromo. Ia
sangat gagah kalau naik kuda. Alangkah gayanya apabila ia menarik kekang kuda
dengan tangan-tangannya yang perkasa itu. Tobby, Tobby, berilah ia rumput dua
kali lipat hari ini.
DARMO
Baiklah,
nyonya, baik.
BEL
DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS
NYONYA (gugup)
Siapa
itu? Saya tak mau terima tamu!
DARMO
Ya,
nyonya. (pergi keluar, ke pintu tengah)
NYONYA (menatap gambar suaminya)
Engkau
akan melihat, Martopo, betapa aku dapat mencintai dan mengampunimu. Cintaku
bisa mati hanya bila akupun telah mati. (ia tersenyum melehkan air mata)
Dan tidakkah engkau baik dan setia, aku telah memalu? Aku adalah istri yang
mengurung dirku sendiri dan saya akan
tetap tinggal setia sampai mati, dank au, kau, kau tak punya malu, monyet yang
tercinta. Kau selalu mengajak bertengkar dan meninggalkan aku berminggu-minggu
lamanya.
DARMO
MASUK DENGAN GUGUP
DARMO
Oh,
nyonya, ada orang ingin bertemu dengan nyonya, mendesak untuk bertemu dengan
nyonya…
NYONYA
Sudah
bapak katakan bahwa sejak kematian suami saya, saya tak mau menerima seorang
tamupun?
DARMO
Sudah,
tetapi ia tidak mau mendengarkannya, katanya urusannya sangat penting.
NYONYA
Sudah
bapak katakana tak menerima tamu!?
DARMO
Saya
sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang ganas, ia mencaci maki dan nekad
saja masuk ke dalam kamar, ia sekarang sudah menerobos ke kamar makan.
NYONYA (marah sekali)
Baiklah!
Bawa dia kemari! Orang tak tahu adat!
DARMO
KELUAR KE PINTU TENGAH
NYONYA
Orang-orang
tanpa guna! Apa pula yang mereka kehendaki dari saya! Kenapa mereka mengganggu
ketentramanku? (mengeluh) Ya, sekarang sudah tenang, saya harus masuk
biara. (merenung) Ya, biara.
BILAL
MASUK DIIRINGI DARMO
BILAL (Kepada Darmo)
Orang
goblog! Engkau terlalu banyak omong! Engkau keledai! (melihat nyonya
martopo, sopan)
Nyonya,
saya merasa terhormat untuk memperkenalkan diri saya. Mayor Lasykar Rakyat di
jaman revolusi, sekarang mengundurkan diri dan menjadi pengusaha perkebunan,
adapun nama saya: Baitul Bilal. Saya terpaksa menggangu nyonya untuk suatu
urusan yang luar biasa mendesak.
NYONYA
(Ringkas)
Tuan
mau apa?
BILAL
Almarhum
suami nyonya, denga siapa saya merasa beruntung bisa bersahabat, meninggalkan
kepada saya dua buah bon yang jumlahnya duabelas ribu rupiah. Berhubung saya
harus membayar bunga untuk sebuah hutang di Bank Rakyat besok pagi, maka saya
akan memohon kepada nyonya, hendaknya nyonya suka membayar hutang tersebut,
hari ini.
NYONYA
Dua
belas ribu, suami saya ngebon apa saja pada tuan?
BILAL
O,
macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak dan oh, ya –dan juga rumput untuk
kuda-kudanya.
NYONYA (Dengan mengeluh, kepada
Darmo)
Oh,
rumput, Pak Darmo jangan lupa bahwa si Tobby harus diberi rumput duakali lipat
hari ini.
DARMO
KELUAR
NYONYA (Kepada Bilal)
Bila
mas Martopo berhutang kepada tuan, tentu saya akan membayarnya, tapi sayang
hari ini uangnya tidak ada pada saya. Besok pagi bendahara saya akan kembali
dari kota, dan saya akan memintanya untuk membayar apa yang sepantasnya harus
tuan terima, tapi, pada saat ini saya tidak bisa memenuhi permintaan tuan.
Lebih daripada itu, baru tepat tujuh bulannya suami saya meninggal dunia dan
saya tidak bernafsu untuk membicarakan masalah uang.
BILAL
Dan
saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak bisa membayar bunga hutang
saya besok pagi. Mereka akan menyita perkebunan saya.
NYONYA
Besok
lusa tuan akan menerima uang itu.
BILAL
saya
tak membutuhkannya besok lusa, tapi hari ini.
NYONYA
Saya
menyesal, tapi hari ini saya tak bisa membayar.
BILAL
Dan
saya tak bisa menunggu sampai besok lusa.
NYONYA
Tapia
pa daya saya kalau memang tak punya uang hari ini?
BILAL
Jadi
nyonya tak bisa bayar.
NYONYA
Tak
bisa!
BILAL
Hm,
itukah kata nyonya yang terakhir?
NYONYA
Yang
terakhir.
BILAL
Sungguh-sungguh.
NYONYA
Sungguh-sungguh.
BILAL
Terima
kasih (mengangkat bahu) Dan mereka mengharapkan saya untuk menahan diri.
Penagih Pajak di jalan tadi bertanya kepada saya, kenapa saya selalu kuatir?
Saya membutuhkan uang, saya merasa leher saya terjerat. Sejak kemarin pagi saya
meninggalkan rumah saya di waktu hari masih subuh dan menagih hutang kesana
kemari. Seandainya ada saja yang membayar hutangnya kan lumayan juga! Tapi
tidak! Saya telah berusaha keras. Setanpun menyaksikan bagaimana aku terpaksa
menginap di penginapan terkutuk itu. Di dalam kamar yang sempit dengan
balai-balai penuh kepiding! Dan akhirnya sekarang saya mengharap untuk menerima
uang sekedarnya dan nyonya Cuma bilang “tidak bernafsu”. Kenapa saya tidak
boleh khawatir begini halnya?
NYONYA
Saya
kira saya telah cukup menjelaskannya, bahwa bendahara akan kembali dari kota,
dan kemudian tuan akan mendapatkan uang tuan kembali!
BILAL
Saya
datang tidak untuk bertemu dengan
bendahara nyonya, saya datang untuk bertemu dengan nyonya. Saya tak peduli pada
bendahara itu! Demi syetan tidak peduli! – Maafkan bahasa saya ini!
NYONYA
Sesungguhnyalah
tuan, saya tak biasa dengan bahasa seperti itu, ataupun tingkah laku seperti
itu, saya tidak bernafsu untuk berbicara lebih lanjut.
NYONYA
MARTOPO PERGI KE KIRI
BILAL
Apa
bisa kukatakan sekarang? Tidak bernafsu. Tepat tujuh bulan setelah suaminya
mati! Saya harus membayar bunga bukan? Suaminya mati begitu saja, bendaharanya
pergi entak kemana – semoga ditelan syetan dia! Sekarang, terangkanlah, apa
yang harus saya lakukan? Apakah saya harus lari dari penagih dari Bank itu
dengan helicopter. Ataukah saya harus membenturkan kepala saya ke tembok batu?
Ketika
saya datang ke Sudargo itu untuk menagih hutangnya, ia pakai taktik “tak ada di
rumah” dan Irwan itu terang-terangan saja lari sembunyi, saya telah pula
bertengkar dengan si KArto dan hampir-hampir saya lempar ia keluar jendela,
Marno pura-pura sakit, dan wanita ini, “tak bernafsu” katanya! Tak seorangpun
diantara mereka mau membayar hutang mereka! Dan semuanya ini sebab saya terlalu
memanjakan mereka, saya terlalu ramah dan terlalu sopan santun. Saya terlalu
lembut hati terhadap mereka! Tapi tunggulah! Saya tak akan membiarkan
seseorangpun memperdayakan saya, syetan akan menghajar mereka! Saya akan tinggal
di sini dan tak akan beranjak sebelum ia membayar utangnya!
Brrr!
Betapa marah saya! Betapa heibat marah saya! Segenap urat saya gemetar, karena
marah dan saya hampir-hampir tak bisa bernafas! Oh, sampai-sampai saya hampir
sakit. Syeitan! (Memanggil) Mandor!
Pak Mandor!
DARMO
Ada
apa?
BILAL
Ambilkan
saya kwas dan sitrun. (Darmo keluar)
Nah,
apa yang bisa kita perbuat. Ia tak punya uang kontan di dompetnya? Logika macam
apa ini? Saya merasa terjerat leher saya, membutuhkan uang dengan sangat, dan
hampir-hampir bunuh diri, dan ia tak mau membayar utangnya sebab ia tak
bernafsu untuk memperbincangkan masalah uang. Inilah logika perempuan! Itulah
sebabnya saya benci bicara dengan perempuan dan sekarang ini benci saya luar
biasa. Lebih baik saya duduk di atas kotak dinamit daripada berbicara dengan
perempuan!
Brrr!
Saya merasa dingin seperti es. Soal ini menyebabkan saya sangat marah. Melihat
mahluk romantis seperti dia itu dari jauh saja sudah cukup untuk membuat orang
berteriak minta tolong.
DARMO
MASUK
DARMO (memberikan segelas air kwas)
Nyonya
Martopo sakit dan tidak mau bicara dengan tamu.
BILAL
Minggat!!
(Darmo pergi)
Sakit
dan tak mau bicara dengan tamu! Baiklah, boleh saja. Sayapun juga tak mau
bicara! Saya akan duduk di sini dan tinggal di sini sampai kau bayar hutang
saya. Kalau kau sakit seminggu, saya akan duduk di sini seminggu. Kalau kau
sakit setahun, saya akan duduk di sini setahun. Seluruh isi sorga menjadi
saksinya, saya harus mendapatkan kembali uang saya! Kau tidak akan
mengguncangkan saya dengan duka citamu itu—dan juga tidak dengan alis matamu
yang bagus itu! Bah! Aku tak lagi heran melihat alis matamu itu!
(ia
berteriak keluar jendela)
Ali!
Lepaskan kuda dari kereta. Kita tak akan buru-buru pulang. Saya akan tinggal di
sini. Katakana pada orang-orang di kandang itu supaya memberinya rumput. Dua
kali lipat! Kuda yang kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul, goblog! Ya, ya,
boleh juga dipukul tapi pelan-pelan saja! Nah, begitu. (meninggalkan jendela)
Jahanam betul! Puasnya tak terkira, tak ada uang semalam tak bisa tidur dan
sekarang, baju berkabung yang hitam dan “tidak bernafsu”.
Kepala
saya sakit, mungkin saya harus minum.
Ya,
saya harus minum.
(memanggil)
Mandor!
Mandor!
DARMO
MASUK
DARMO
Ada
apa?
BILAL
Saya
minta minum! (Darmo keluar. bilal duduk lagi dan melihat pada pakaiannya)
Ugh, gagalnya sudah nyata. Tak bisa dibantah lagi. Debu, sepatu kotor, belum
mandi, belum bersisir, jerami mengotori pakaian – nyonya itu barangkali mengira
saya ini seorang garong. (Ia menguap)
Memang
agak kurang sopan masuk ke ruang tamu seperti pakaian seperti ini. Nah, ya, ya
tak ada salahnya sampai sekarang. Saya datang kemari tidak sebagai tamu. Saya
penagih hutang, dan taka pa pakaian yang khusus bagi penagih hutang !
DARMO
(Masuk
dengan segelas kwas)
Wah,
tuan tampak bebas betul di sini.
BILAL (Marah)
Apa?
Kepada siapa kau tujukan ucapanmu itu? Diam! Tak usah ngomong!
DARMO (Marah)
Kacau!
Kacau! Orang ini tak mau pergi! (Keluar)
BILAL
Ya,
syeitan, betapa marahnya saya! Cukup marah untuk melempari seluruh dunia ini
dengan Lumpur! Sampai saya merasa sakit! – Mandor!
NYONYA
MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KE BAWAH
NYONYA
Tuan,
selama hidup saya sepi ini saya tak bisa mendengar suara manusia dan saya tak
bisa tahan mendengar bicara orang keras-keras. Saya minta kepada tuan, sukalah
hendaknya supaya tidak menggangu kedamaian saya.
BILAL
Bayarlah
saya dan saya akan pergi.
NYONYA
Tadi
sudah saya katakana dengan jelas, dalam bahasa Indonesia bahwa saya tak punya
uang kontan, tunggulah sampai besok lusa.
BILAL
Dan
sayapun merasa terhormat untuk menerangkan kepada nyonya, juga dalam bahasa
Indonesia, bahwa saya membutuhkan uang sekarang tidak besok lusa.
NYONYA
Tapi
apa daya saya, bila saya tak punya uang?
BILAL
Jadi
nyonya tak akan membayar segera? Begitu bukan?
NYONYA
Saya
tak bisa.
BILAL
Kalau
begitu saya akan duduk di sini sampai saya mendapat uang. (Iapun duduk)
Nyonya
akan membayar besok lusa? Bagus sekali! saya akan tinggal di sini sampai besok
lusa. (Melompat bangkit) Saya Tanya kepada nyonya, saya harus membayar
bunga besok pagi, bukan? Ataukah nyonya kira saya Cuma berolok-olok?
NYONYA
Tuan,
saya minta tuan jangan berteriak. Ini bukan kandang kuda!
BILAL
Saya
bukannya sedang membicarakan kandang kuda, saya sedang bertanya, saya akan membayar
bunga besok pagi bukan?
NYONYA
Tuan
tak tahu bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.
BILAL
Tentu
saja saya tahu.
NYONYA
Tidak!
Tuan tidak tahu! Tuan ini orang kampung, orang tak tahu adat! Seorang tuan yang
terhormat tak akan bicara seperti itu di depan seorang wanita!
BILAL
Wah,
hebat betul! Nyonya tau, bagaimana seharusnya orang bicara kepada nyonya dalam
bahasa Inggeris, barangkali? Dear lady, would yau like to lend me your
beautiful eyes? Pardon me for having disturb you! What a beautiful
wheather We are having today! Shell we meet again tomorrow?(Membungkuk
memberi hormat dengan cara mengejek)
NYONYA
Sama
sekali tak lucu, biadab namanya!
BILAL
(Meniru)
Sama
sekali tak lucu, biadab! Saya tak
tahu bagaimana bersikap terhadap orang-orang wanita. Nyonya yang terhormat,
sepanjang umur saya ini, saya telah melihat wanita lebih banyak daripada nyonya
melihat burung gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi karena urusan wanita, dua
belas wanita telah saya tinggalkan dan sembilan wanita telah meninggalkan saya.
Memang pernah pada saya bertingkah bagaikan bahasa yang bermadu,
membungkuk-bungkuk, dan kemalu-maluan. Saya pernah mencinta, menderita,
mengeluh kepada bulan, melelh disiksa oleh cinta. Saya pernah mencinta dengan
dahsyat, mencinta sampai gila, mencinta dalam semua tangga nada, berkicau
sebagai burung ketilang tentang emansipasi, mengorbankan separo dari harta
bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut, tetapi sekarang, demi syeitan, itu
semua telah cukup.
Hambamu
yang patuh ini tak mau lagi ditarik-tarik kesana kemari seperti lembu yang
bodoh. Cukup! Mata yang hitam mata yang bergairah, bibir yang mungil, dekik di
pipi, bisikan di terang bulan, keluh kesah yang menawan.
Bah
Untuk semua itu, nyonya, aku tak mau membayarnya setalen! Yang saya maksud
bukannya teman saya berbicara sekarang, tetapi wanita pada umumnya, dari yang
kecil sampai yang besar, mereka itu sombong hipokritis, cerewet, menjengkelkan,
tak setia dari kaki sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam dengan
logika yang memusingkan, dan … (memukul dahinya) dalam hal ini, harap
dimaafkan keterusterangan saya ini, seekor burung gereja dapat mengalahkan
sepuluh filsuf yang memakai kebaya, apabila orang melihat seorang wanita yang
romantis di depan matanya, maka ia lalu membayangkan bahkan yang dilihatnya itu
suatu mahluk yang suci, begitu hebat sehingga apabila ia tersentuh oleh nafas
mahluk itu maka iapun merasa dirinya terapung dalam lautan pesona yang
mengagumkan, tetapi apabila orang melihat ke dalam jiwanya, tak lain tak bukan
hanya buaya!
(menghantam sebuah kursi)
Tetapi
yang lebih buruk dari semuanya ialah bahwa buaya ini menganggap dirinya sebagai
mahluk yang sangat artistik, seakan-akan mengambil monopoli sebagai mahluk yang
menggiurkan. Biarlah syeitan menggantung diriku jungkir balik kalau memang ada
yang pantas dicinta pada wanita!
Apabila
ia jatuh cinta, apa yang ia tahu Cuma mengaduk dan melelehkan air mata. Apabila
lelakinya sudah mulai menderita dan suka berkorban, maka si wanita mulai
melagak dan mencoba menyeret lelaki itu seperti keledai.
Nyonya
mempunyai nasib yang malang karena lahir sebagai seorang wanita, dan tentu saja
nyonya tahu bagaimana sifat wanita itu, coba katakana pada saya, demi
kehormatan nyonya apakah nyonya pernah menjumpai wanita yang benar-benar jujur
dan setia? Tak pernah, tentu saja! Hanya wanita yang tua dan jelek saja yang
bisa setia. Lebih gampang mencari kucing yang bertanduk atau gagak yang berbulu
putih daripada mencari wanita yang bisa setia.
NYONYA
Tapi
ijinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan setia dalam bercinta? Lelaki,
barangkali?
BILAL
Ya,
tepat sekali! Lelaki tentu saja!
NYONYA
Lelaki
! (Ia tertawa kasar) Lelaki bisa jujur dan setia dalam bercinta! Nah,
inilah suatu berita yang baru! (Pahit) Bagaimana tuan sampai bisa
berkata begitu?Lelaki jujur dan setia! Sementara sola ini sudah sampai begitu
jauh, saya bisa menyatakan di sini bahwa dari segala lelaki yang saya kenal,
suami saya adalah lelaki yang terbaik, saya mencintainya dengan hangat, dengan
segenap jiwa saya, seperti yang hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita yang
muda dan bijaksana, saya serahkan kepada kemudaan saya, kebahagiaan saya,
kekayaan saya dan hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai seorang kafir.
Dan apakah yang terjadi?
Lelaki
yang terbaik ini mengkhianati saya pada segala macam kesempatan…. Setelah ia
meninggal dunia, saya temukan laci mejanya penuh dengan surat-surat cinta.
Ketika ia masih hidup ia suka meninggalkan saya berbulan-bulan lamanya,
memikirkannya saja sudah ngeri. Ia bercinta-cintaan dengan wanita lain
dihadapan saya, ia memboroskan uang saya, dan memperolok-olokkan perasaan saya,
tetapitoh saya masih tetap jujur dan setia kepadanya. Dan lebih daripada itu,
ia sudah mati dan saya masih tetap setia kepadanya. Saya kuburkan diri saya di
dalam empat tembok ini dan saya akan tetap memakai baju hitam ini sampai
keliang kubur saya.
BILAL (Tertawa kampungan)
Berkabung!
Nyonya berkabung! Nyonya kira saya ini apa? Jangan dikira saya tak tahu kenapa
nyonya memakai baju bagus yang hitam ini dan mengubur diri nyonya diantara
empat dinding ini! Rahasia macam itu. Betapa romantisnya! Nyonya mau meniru
dongeng!
Seorang
bangsawan berkuda akan lewat di depan puri, ia akan berkata dalam hatinya: “Di
sinilah tinggal sang putrid Candra Kirana, yang demi cintanya kepada suaminya
telah mengubur dirinya dalam empat dinding kamarnya”.
Oh,
saya sudah mengerti akan sandiwara ini!
NYONYA (Meloncat)
Apa?
Apa maksud tuan dengan mengatakan kata-kata itu kepadaku?
BILAL
Nyonya
telah mengubur hidup-hidup diri nyonya, tetapi sementara itu nyonya lupa tak
lupa membedaki hidung nyonya!
NYONYA
Alangkah
lancangnya mulut tuan!
BILAL
Saya
mohon untuk tidak membentak saya, saya bukannya bendahara nyonya! Ijinkanlah
saya menyebutkan kenyataan-kenyataan. Saya bukannya seorang wanita, dan saya
sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa isi hati saya. Maka dari itu
dengan hormat saya minta, jangan menjerit.
NYONYA
Saya
tidak menjerit. Tuanlah yang menjerit. Saya minta tuan meninggalkan rumah ini!
BILAL
Bayarlah
dan saya akan pergi.
NYONYA
Saya
tak mau bayar!
BILAL
Nyonya
tak mau?1 Nyonya tak mau membayar uang yang menjadi hak saya?
NYONYA
Saya
tak perduli tuan mau bertindak apa? Satu rupiahpun saya tak mau membayar! Pergi
dari sini!
BILAL
Sebab
saya bukan suami nyonya atau tunangan saya, maka janganlah nyonya membikin
rebut.
(Duduk)
Saya
tak tahan lagi.
NYONYA (Menarik nafas jengkel)
Apakah
tuan berniat akan duduk?
BILAL
Saya
memang sudah duduk.
NYONYA
Dengan
hormat, pergilah!
BILAL
Dengan
hormat, bayarlah uang saya!
NYONYA
Saya
tak sudi bicara dengan orang biadab. Pergi !(Pause) Pergi, atau tidak.
BILAL
Tidak.
NYONYA
Tidak
?
BILAL
Tidak.
NYONYA (Mengebel, Darmo masuk)
Pak
Darmo, antarkan tuan Baitul Bilal ini pergi.
DARMO (Dengan gagah menghampiri
bilal)
Tuan,
mengapa tuan tidak pergi kalau memang diminta pergi? Mau apa sebenarnya tuan
ini?
BILAL (Meloncat bangun)
Kau
kira kau bicara dengan siapa? Kugilas lumat-lumat kau nanti.
DARMO (Memegang jantungnya)
Ya
Tuhan. (Jatuh di kursi) Oh, saya sakit, saya tak bisa bernafas.
NYONYA
Dimana
Suto? (Memanggil) Suto ! Suto
!Amat ! Amat ! (Mengebel)
DARMO
Mereka
sedang pergi semua! Dan saya mendadak sakit. Oh, air!
NYONYA
Tuan
Baitul Bilal! Pergilah… Oh, pergi! Keluar!
BILAL
Dengan
hormat, agak sopankah sedikit!
NYONYA (Meninju udara menghentakkan
kaki)
Engkau
kasar! Engkau biadab! Engkau monyet!
BILAL
Apa
katamu?
NYONYA
Engkau
biadab, engkau monyet!
BILAL (Cepat menghampirinya)
Ijinkanlah
saya bertanya, atas hak apa nyonya menghina saya?
NYONYA
Habis,
mau apa lagi? Tuan kira saya takut pada tuan?
BILAL
Nyonya
kira karena nyonya ini mahluk yang romantis lalu nyonya bebas menghina saya
tanpa mendapat balasan? Saya menentang nyonya!
DARMO
Ya,
Robbi! Air!
BILAL
Ini
harus diselesaikan dengan duel.
NYONYA
Apakah
tuan mengira karena tuan begitu gagah, lalu saya takut kepada tuan?
BILAL
Saya
jelaskan di sini bahwa saya tak mengijinkan seorangpun menghina saya, dan saya
tak akan mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya seorang wanita,
seorang “sex yang lemah”, katanya.
NYONYA (Mencoba mengalahkannya
dengan tangis)
Badak
! Kamu badak ! Badak!
BILAL
Inilah
saatnya untuk membuang tahyul lama yang beranggapan bahwa hanya lelaki saja
yang harus memberi kepuasan. Bila ada persamaan antara laki dan wanita,
mestinya persamaan itu dalam segala hal. Emansipasi wanita! Bah! Akhirnya toh
ada batasnya! Inilah buktinya!
NYONYA
Jadi
tuan betul-betul menantang duel atau bagaimana? Baiklah…
BILAL
Segera.
NYONYA
Segera.
Aku kurang berlatih tinju, tapi suamiku punya banyak senapan di sini. Beberapa
tupai dan burung saja sudah gugur karenanya, dan sekarang senapan itu dengan
mudah akan menggugurkan tuan juga.
BILAL
Oh,
senapan angin! Boleh saja!
NYONYA
Dengan
gembira saya akan menembus kepala tuan. Semoga tuan dimakan syeitan! (Mengambil
senapan, masuk)
BILAL
Akan
saya tembak alis matanya yang bagus itu. Saya bukan orang banyak cincong, bukan
pula pemuda hijau yang sentimental. Bagi saya tak ada “sex yang lemah”.
DARMO
Oh,
tuan! (Berlutut) Kasihanilah saya, seorang tua seperti saya ini.
Pergilah. Tuan sudah menakut-nakuti saya sampai hampir mati, dan sekarang tuan
ingin berduel pula.
BILAL (Tak perduli)
Ya,
duel! Itulah persamaan, itulah emansipasi. Dengan begitu lelaki dan wanita
sama. Saya akan menembaknya demi prinsip ini. Apalagi yang harus saya katakana
terhadap wanita semacam dia.
(Menirukan) “Dengan gembira saya akan
menembus kepala tuan. Semoga tuan dimakan syeitan!”
Apalagi
yang bisa dikatakan tentang ini? Ia marah, matanya berkilauan, ia menerima
tantangan. Demi kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya jumpai wanita
seperti itu!
DARMO
Oh,
tuan. Pergilah. Pergi!
MASUK
NYONYA MARTOPO, MEMBAWA DUA SENAPAN ANGIN
NYONYA
Inilah
senapannya. Tetapi sebelum kita berduel, saya minta ajarilah dulu caranya
menembak.
Saya
agak kurang biasa dengan senapan tadinya.
DARMO
Ya
robbi, kasihanilah kami! Saya akan pergi dan memanggil orang. Oh, kenapa
malapetaka ini menimpa kepala kami! (Pergi keluar)
BILAL (Memeriksa senapan)
Ini
namanya senapan angin. Ya, ini pelurunya, memang bagus untuk menembak burung,
tetapi ini lain dari senapan biasa, ya, ya, boleh juga.
Lihatlah,
BSA, caliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak kurang dari dua belas ribu.
Beginilah cara memakai.
(Kesamping)
Aduh, alis matanya! Sungguh wanita sejati!
NYONYA
Sudah
?
BILAL
Ya,
beginilah, lalu tariklah bila ditembakkan.(Mengajar) Begini – bidiklah.
Coba miringkan sedikit kepala nyonya. Popornya harus tepat di bahu ini. Ya,
begitu. Tangan hendaknya jangan kaku. Lemas tapi kuat – coba – ya, jangan
gemetar. Pelan-pelan bernafas. Bidiklah baik-baik. – aha, enak bukan?
NYONYA
Tak
enak menembak di dalam rumah, marilah kita keluar kebun.
BILAL
Ya,
tapi saya belum selesai mengajar, saya beri contoh dulu. Saya ajar cobanya
menembak ke udara.
NYONYA
Terlalu!
Itu tak perlu! Kenapa?
BILAL
Sebab..
sebab. Itu urusan saya.
NYONYA
Tuan
takut? Ya, memang! Aaaah! Jangan begitu, tuan terhormat jangan gila-gilaan.
Ayo,
ikut saya. Saya belum merasa tentram sebelum membuat lubang di dahi tuan yang
saya benci itu. Apakah tuan takut?
BILAL
Ya,
saya takut.
NYONYA
Bohong!
Kenapa tak mau bertempur?
BILAL
Sebab…,
sebab…, sebab…, saya suka kepada nyonya.
NYONYA (Tertawa marah)
Tuan
suka saya! Begitu berani ya bilang kalau suka saya! (Menunjuk) Pergi!!
BILAL
(Meletakkan
senapan pelan-pelan di atas meja, mengambil topinya dan pergi ke pintu. di
pintu ia berhenti sebentar dan menatap nyonya martopo, lalu ia menghampirinya
agak bimbang)
Dengarlah!
Apa nyonya masih marah? Saya begitu gila seperti syeitan, tetapi saya harap
nyonya bisa mengerti, ah, bagaimana saya akan menyatakannya? Soalnya adalah
begini…, soalnya ialah…, (Meninggikan suara) Lihatlah apakah salah saya
bahwa nyonya berhutang kepada saya? Saya tak bisa disalahkan bukan? Saya suka
kepada nyonya! Mengertikah? Saya… saya hampir jatuh cinta.
NYONYA
Pergi!
Saya benci kepada tuan!
BILAL
Ya,
Robbi! Alangkah hebatnya wanita ini! Saya belum pernah melihat wanita yang
sehebat ini. Saya kalah, remuk redam! Saya seperti tikus yang kena perangkap.
NYONYA
Pergilah,
atau saya tembak nanti!
BILAL
Tembaklah!
Nyonya tak tahu bagaimana bahagia rasanya mati di depan pandangan mata sepasang
mata yang berkilauan itu. – ah, alisnya! – Mati ditembak oleh senapan angin
yang dipegang oleh tangan yang halus dan mungil itu! Saya gila! Cobalah
pertimbangkan baik-baik, dan cepatlah putuskan, sebab bila saya pergi sekarang,
itu artinya kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah, bicaralah, -- saya
masih priyayi, orang terhormat, penghasilan saya sebulan tak kurang dari
sepuluh ribu, saya bisa menembak burung yang sedang terbang. Saya banyak punya
kuda yang bagus. Maukah nyonya menjadi istriku?
NYONYA (Membidik)
Saya
tembak!
BILAL
Ah,
saya bingung, saya kurang mengerti! – Mandor, air! Saya telah jatuh cinta seperti
anak sekolahan saja.
(Ia
menjamah tangan nyonya murtopo dan wanita itumenangis) Saya cinta kepadamu!
(Berlutut) Saya belum pernah mencinta wanita seperti ini. Dua belas
wanita telah saya tinggalkan dan sembilan meninggalkan saya, tetapi tak
seorangpun pernah saya cintai sebagaimana saya mencintaimu. Saya sudah kalah,
tunduk seperti orang tolol, saya meniarap dilantai memohon tanganmu.
Terkutuklah
saya ini! Sudah lima tahun saya tidak jatuh cinta, saya seperti sebuah kereta
yang terkait pada kereta lain. Saya mohon pertolonganmu! Ya, atau tidak?
Sudikah nyonya? –Baiklah! (Ia bangkit dan cepat-cepat menuju pintu)
NYONYA
Tunggu
dulu!
BILAL (Berhenti)
Ya?
NYONYA
Tidak
apa-apa. Tuan boleh pergi. Tetapi tunggu dulu. Tidak, pergilah, pergi. Saya
bensi kepada tuan. Atau… tidak, jangan pergi, oh,kalau tuan tahu bagaimana
marah saya! (Membuang Senapan)
Jari
saya linu-linu memegang barang seperti ini. (Menghapus air mata dengan marah)
Untuk apa tuan berdiri di situ? Keluar!
BILAL
Selamat
tinggal!
NYONYA
Ya,
pergilah (Menangis) Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak, pergi! Oh alangkah
marahnya saya ini! Jangan mendekat…, oh…, kemarilah…, jangan!... jangan
dekat-dekat.
BILAL (Menghampiri)
Saya
marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti anak sekolah, berlutut dan
menghiba-hiba. Saya merasa demam. (Tegas) Saya cinta kepadamu. Ini
sehat.
Apa
yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya harus membayar bunga ke
bank, panen kopi sudah tiba, dan kemudian muncullah nyonya! (Mencium tangan
nyonya martopo) Tak akan saya maafkan diri saya ini.
NYONYA
Pergilah!
Ngan cium di tangan saya! O, saya
benci… saya benci… saya…
(Tangannya yang satunya membelai kepala
bilal)
MASUK
DARMO DAN DUA ORANG YANG LAINNYA. MEREKA MEMBAWA SAPU, SABUT DAN SEKOP.
DARMO (Terpesona)
Ya, Tuhan! Ya,
Robbi!
Yogyakarta, Februari 2007 by
;asrul ….sumber;ker seni
0 komentar "NASKA DRAMA/TEATER", Baca atau Masukkan Komentar
Posting Komentar
Silahkan Berikan Komentarnya | Untuk Kemajuan Blog Ini